Beranda | Artikel
Mengukur Keberhasilan
Sabtu, 4 April 2020

Bismillah.

Hari-hari ini dunia digoncangkan oleh makhluk kecil bernama virus. Ya, virus corona, itu sebutan yang dikenal manusia. Negara-negara besar semacam Cina, Amerika, dan Italia pun tidak luput dari derasnya serangan wabah Corona.

Suatu hal yang kita yakini bahwa musibah wabah ini memang telah ditakdirkan oleh Allah dan tertulis dalam lembaran lauhul mahfuzh 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.

‘Makhluk-makhluk’ kecil bernama virus itu kini menggoncangkan jutaan manusia di dunia bahkan memakan korban ribuan nyawa di berbagai belahan bumi. Itulah yang terjadi ketika Allah menghendaki; kekuasaan besar dan negara adi daya pun tak sanggup membendung kekuasaan Allah yang sama sekali Allah tidak menyimpan keinginan berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Allah Mahaadil dan Mahabijaksana.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, besarnya kekuasaan, tingginya jabatan, banyaknya harta yang dimiliki, kekayaan sumber daya alam, kecanggihan teknologi, jaringan sumber daya yang luas; itu semua tidaklah menjamin kejayaan dan kemuliaan suatu negeri atau perkumpulan manusia.

Apakah kita lupa kisah Fir’aun, Qarun, dan Namrud? Bukankah mereka pemilik aset besar di mata manusia; kekuasaan, harta, dan jabatan. Akan tetapi tatkala segala potensi yang mereka punyai tidak dilandasi dengan iman dan ketakwaan jadilah nikmat yang ada menjelma menjadi malapetaka dan bencana bagi kehidupan mereka.

Tidak heran, apabila seorang ulama salaf bernama Abu Hazim rahimahullah mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak semakin menambah dekat kepada Allah, maka itu adalah malapetaka/musibah.”

Pada hari-hari ini kita kembali tersadar bahwa tidak sulit bagi Allah untuk menumbangkan keangkuhan dan arogansi manusia. Banyak orang kembali bersimpuh di hadapan Allah, merengek dan memohon kepada-Nya agar segera mengakhiri wabah dan bencana ini… Mereka tidak lagi menghabiskan waktunya untuk sekedar mencari tumpukan dunia. Mereka kini teringat akan tugasnya untuk berdoa dan beribadah kepada Allah. Padahal, masjid dan musholla pun banyak yang sudah menjadi sepi karena demi mencegah penyebaran wabah yang ganas ini…

Segala puji bagi Allah, kini kita masih bisa menunaikan ibadah itu di rumah atau di kamar sendiri. Masih ada tempat untuk bersungkur sujud dan menengadahkan tangan untuk berdoa kepada Allah Yang menguasai langit dan bumi. Ya Allah, singkirkanlah dari kami wabah dan bencana ini… Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami

Pada saat ini pula, kita bisa melihat kesadaran kaum muslimin kembali tergugah untuk membantu saudaranya dan berusaha mencurahkan manfaat bagi umat manusia. Walaupun di saat yang sama kita bisa melihat wajah-wajah panik menyelimuti hidup dan kehidupan mereka. Sedih karena kemungkinan lebaran ini mereka tidak kumpul dengan sanak familinya di kampung halaman… Belum lagi kekhawatiran tertular wabah ini dari arah dan jalan yang tidak disangka-sangka…

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Inilah saatnya kita kembali kepada Allah, mengakui dosa dan kesalahan kita selama ini. Kesalahan yang mungkin selalu kita anggap ringan dan sepele. Padahal, bukan demikian sifat seorang mukmin. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti dia sedang duduk di bawah sebuah gunung; dia khawatir gunung itu runtuh menimpa dirinya.”

Para ulama kita telah mengingatkan, bahwa ‘tidak ada dosa besar bersama istighfar dan tidak ada dosa kecil jika itu selalu dikerjakan/tidak disertai taubat’. Maka, sekarang kita bisa melihat diri kita masing-masing. Sudahkah istighfar dan taubat itu menghiasi lisan dan perilaku kita sehari-hari. Padahal dosa demi dosa terus saja melukai dan menorehkan bintik hitam di dalam sanubari. Allahul musta’aan.

Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tiada lagi bermanfaat harta dan keturunan anak laki-laki kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89)

Ini saatnya kita kembali memeriksa keadaan hati. Apakah ia selamat dari terpaan fitnah syubhat dan syahwat; ataukah dia sedang berenang dalam lautan dosa dan maksiat? Apakah hati kita menjadi hati yang bersih dari kedengkian, hasad, dan riya’ atau ujub? Atau justru sebaliknya…

Untuk memeriksa keadaan hati ini butuh pikiran yang jernih, panduan wahyu dan petunjuk ilahi dan kesadaran guna memperbaiki diri. Kita memang bukan malaikat, tetapi kita juga bukan tercipta untuk menghamba kepada hawa nafsu dan iblis. Kita adalah hamba-hamba Allah yang penuh dengan kekurangan dan kelemahan.

Betapa celakanya seorang hamba yang tidak mengenali aib dan kekurangan dirinya sendiri. Betapa ruginya seorang insan yang tertipu oleh pujian manusia dan dosa-dosa yang Allah tutupi untuknya dari pandangan dan pengetahuan manusia. Saatnya kita kembali tunduk menghitung kesalahan dan dosa-dosa kita. Jangan sampai ‘semut di seberang lautan tampak, sementara gajah di pelupuk mata tak tampak…’

Jika hari ini anda masih beranggapan bahwa keberhasilan itu dinilai dengan dolar, dinar dan rupiah, maka sadarilah bahwa anda telah tertipu. Jika hari ini anda masih mengira bahwa keberhasilan itu diukur dengan luasnya kekuasaan dan kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi maka sungguh anda telah tertipu dan terpedaya! Jika hari ini anda masih menyangka bahwa kemewahan dan pemuasan hawa nafsu adalah standar keberhasilan maka sungguh anda telah tertipu…

Para ulama kita menasihatkan, “Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan diri/hawa nafsunya dan beramal untuk menyambut kehidupan setelah kematian….”

Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari lembah emas yang ketiga. Dan tidak akan memenuhi/menyumpal rongga perut anak Adam itu kecuali tanah. Dan Allah akan menerima taubat bagi siapa yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)

Anda ingin menempuh jalan keberhasilan? Taubat itulah jalannya. Siapakah kita jika dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara beliau setiap hari bertaubat 100 kali bahkan lebih. Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau…

Maka siapakah kita ini?! Apa yang membuat lisan kita berat untuk mengucapkan istighfar dan taubat? Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami… Ya Allah, berikanlah taufik kepada kami…

# Penyusun : Redaksi al-mubarok.com

Tulisan ini disusun di kantor Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Yogyakarta, semoga Allah menjaganya dari segala keburukan…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengukur-keberhasilan/